Jumat, 11 Januari 2013

Antara Intelek dan Intuisi


Henri Bergson adalah seorang filsuf ternama di abad 20 yang menuliskan tentang metafisika. Baginya pengetahuan yang mengabsolutkan adalah pengetahuan yang karena intuisi dan pemikiran rasional merupakan suatu pemikiran yang lebih banyak salah atau palsu.. Ia memperdebatkan bahwa intuisi itu lebih dalam dari intelek.
Intuisi, menurutnya, merupakan metode “berpikir dalam durasi” dan selalu mencerminkan adanya realitas yang terus mengalir. Untuk menjelaskan lebih dalam akan filsafatnya, Bergson membedakan dua dasar pemikirannya yaitu intuisi dan pemikiran konseptual. Intuisi dan intelek dapat dikombinasikan untuk mendapatkan pengetahuan dinamis akan realitas. Bergson memandang bahwa intelek itu sebagai suatu instrumen atau alat yang digunakan untuk membantu atau meningkatkan kehidupan.
Mengenai waktu, Bergson membedakan dua jenis waktu, yaitu waktu murni dan waktu matematis. Waktu murni merupakan durasi yang sebenarnya sedangkan waktu matematis adalah durasi yang terukur. Sifat waktu murni itu continu dan tak dapat dibagi dan waktu matematis sebaliknya yang dapat dibagi menjadi beberapa unit dan interval. Hubungan antara kedua waktu ini tidak seimbang. Analisa matematis terhadap waktu murni akan membuat kekacauan dalam waktu. Waktu murni tidak bisa diintelektualisasi karena dengan mengalami durasinya itu berarti memalsukannya. Waktu murni hanya bisa dialami secara intuitif bukan intelektual. Bergson juga mengatakan kemudian bahwa intuisilah yang bisa menerangkan realitas hidup dan bukan konsep-konsep intelek .
Eksistensi waktu itu dapat menerangkan mengapa benda-benda itu tidak terjelaskan. Waktu sebagai durasi menjelaskan mengapa benda-benda yang tak terjelaskan kemudian bisa menjadi terjelaskan, dan begitu juga sebaliknya. Jika waktu tidak exsis, secara teoritis, maka segala sesuatu dapat dijelaskan. Oleh karena itu dengan ketidakjelasan akan segala sesuatu, kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa hidup dapat berubah dan perubahan yang terjadi menunjukan adanya kebebasan dalam bertindak. Kebebasan ini merupakan pengalaman dari intuisi.
Dalam realitas sehari-hari, kadang sesuatu yang nisbi atau pasti atau dengan ilmu pengetahuan sepertinya masih kurang pasti dan sering salah maka untuk dapat melihat lebih jelas dan menyeluruh diperlukan suatu suplemen yaitu intuisi. Dalam pengertian ini ada dua argumen yang berbeda yang berfungsi sama-sama untuk mengetahui sesuatu. Dua hal tersebut adalah karakteristik dari intelek yang menggunakan berbagai simbol untuk mengekspresikan temuannya dan menghasilkan suatu pengetahuan yang relatif. Kemudian yang kedua adalah proses dari intuisi di mana kita masuk ke dalam sesuatu dan mengindentifikasikan diri kita dengannya lewat rasa simpati intelek. Hal ini seperti kita mengindentifikasikan diri kita sebagai aktor dalam novel yang kita baca. Tidak ada simbol dan pengetahuan yang didapatkan itu mutlak dan sempurna. Inilah metode yang di sebut metafisika.
Intelek dan intuisi adalah dua jenis pengetahuan yang berbeda. Prinsip-prinsip sains dimasukan dalam kategori intelek dan prinsip-prinsip metafisika merupakan intuisi. Sains dan filsafat dapat disatukan dan akan menghasilkan pengetahuan yang intelektual dan intuitif. Pengetahuan semacam ini dapat menyatukan dua persepsi realitas yang berbeda.
Bergson mengatakan bahwa intuisi itu jangan disamakan dengan perasaan dan emosi secara harafiah. Kita harus melihatnya sebagai sesuatu yang bergantung pada kemampuan khusus yang didapatkan dari ilmu non-alam. Intuisi itu sepertinya suatu tindakan atau rentetan dari tindakan-tindakan yang berasal dari pengalaman. Intuisi ini hanya bisa didapatkan dengan melepaskan diri dari tuntutan-tuntutan tindakan, yaitu dengan membenamkan diri dengan kesadaran spontan.
Satu hal yang dicapai intuisi dan disebut sebagai objeknya adalah kepribadian diri kita. Dalam hal ini Bergson ingin mengatakan bahwa kenyataan absolut itu yang dikuak oleh intuisi metafisis adalah waktu yang tidak pernah habis. Mengapa? Karena kita dapat menemukan kepribadian kita dengan berjalannya waktu dan proses untuk sampai pada perubahan sepertinya sulit untuk berhenti. Inilah yang dimaksudkan bahwa dengan intuisi kita akan mendapatkan bentuk pengetahuan yang menyatakan realitas itu continu dan tak dapat terbagi. Realitas akan selalu berubah karena dalam hidup manusia akan selalu ada kebebasan akan kreativitas.
Akhirnya pandangan Bergson ini lebih banyak dipandang sebagai suatu pandangan anti-intelektualisme walaupun Bergson sendiri menyangkalnya dan mengatakan bahwa metafisikanya merupakan suatu pelengkap dan bukan lawan dari rasionalisme. Intelek memang mampu memberikan pengetahuan kepada kita tetapi lebih baik lagi bila pengetahuan itu juga didapatkan dengan intuisi. Bergson mengajak kita untuk lepas dari konsep analisis yang kemungkinan lebih banyak gagalnya dan menyarankan untuk menggunakan intuisi karena dengan intuisilah kita dengan sendirinya akan sukses.
Kontribusi Bergson dalam dunia filsafat terletak pada pemahaman kebebasan manusia untuk berkreativitas secara realistik. Pandangannya memang tidak terlalu berpusat pada pikiran atau rasio melainkan ia lebih menekankan pengalaman. Dengan pengalaman manusia akan mengkonstruksi eksperimen-eksperimen saintifik yang realistis.

TANGGAPAN
Setelah menganalisa pemikiran dari Bergson memang disadari bahwa dia lebih menekankan proses intuitif sebagai proses menemukan realitas. Banyak kritikus menganggapnya sebagai filsuf anti intelektualisme dan ada juga yang menganggap filsafatnya ini merupakan suatu proyeksi dari personal psikologinya yang dibawa ke luar atau ke dunia. Hal seperti ini terjadi karena proses menemukan realitas dianggap subjektif dan objektivitas dicoba direduksi.
Untuk menekuni filsafat Bergson ini kita harus melatih intuisi dengan berbagai pengalaman hidup. Pengalaman haruslah dibangun berdasarkan informasi-informasi yang ditangkap melalui experimen-experimen saintific. Dengan pengalaman itu dapat diketahui bahwa Bergson sama sekali tidak menghilangkan intelektualisme melainkan memperdalamnya. Sekali lagi metafisikannya merupakan pelengkap intelektualisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar