Minggu, 25 November 2012

Keikhlasan Menembus Ruang dan Waktu


Filsafat adalah olah pikir. Filsafat itu menembus ruang dan waktu, sehingga objek filsafat yakni segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada dapat digali. Namun jangan sampai karena anggapan segala sesuatu sebagai objek filsafat, baik yang ada dan yang mungkin ada adalah kajian filsafat, lantas kita berfilsafat yang sesat. Ketika muncul pertanyaan bagaimana wujud Tuhan. Itu berarti pikiran lebih mendominasi daripada hati, pikiran telah menjadi raja dalam diri manusia tersebut. Padahal sejatinya filsafat itu tetap meletakkan Tuhan dalam hati yang menjadi raja, penguasa diri kita.
Manusia yang berilmu lebih tinggi dimensinya dibanding dengan yang tidak berilmu, karena dengan ilmu kita akan mengerti makna hidup, dengan ilmu kita mengerti akan dunia dan seisinya hingga batas pikiran kita. Sedangkan orang yang tidak berilmu hanya akan pasrah pada kehidupannya. Kita menggapai ilmu adalah dengan berpikir, dan ilmu meliputi yang ada dan mungkin ada sangatlah luas hingga batas pikiran kita. Untuk itu, upaya untuk meraih ilmu seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya adalah dengan meningkatkan kemampuan berpikir kita. Dari pola pikir inilah juga yang akan membedakan dimensi kita dengan orang lain. Upaya ini juga harus diimbangi dengan hati yang ikhlas, sehingga kita tidak hanya sebagai manusia berilmu tetapi juga bernurani.
Dalam beribadah kepada Tuhan kita hendaknya diikuti dengan ikhlas. Ikhlas tidak hanya di dalam hati, tetapi juga dalam pikiran, dan keduanya saling berhubungan. Ketika kita ingin menggapai ikhlas dalam pikiran, kita juga memerlukan ikhlas dalam hati.
Diri kita adalah kontradiksi. Jika kita mengatakan 'aku' adalah 'aku', 'aku' yang diucapkan pertama sudah berbeda dengan 'aku' yang kedua dikarenakan ruang dan waktu. Ruang yang berbeda-beda dan waktu yang terus selalu berjalan akan menjadikan segala sesuatunya kontradiksi, karena hidup adalah ruang dan waktu, dan ruang dan waktu adalah kontradiksi maka segala sesuatu yang tidak terlepas dari ruang dan waktu adalah kontradiksi.
Kontradiksi antara hati dan tindakan dapat terjadi ketika apa yang dirasakan dalam hati tidak sesuai dengan yang dilakukan atau dapat dikatakan saling bertentangan, maka inilah keadaan disharmoni di dalam diri. Keadaan dimana sesuatu itu tidak saling bersesuaian. Hal ini terjadi dikarenakan kurangnya keyakinan di dalam hati, sehingga ragu-ragu mengambil tindakan dan akhirnya berbeda dengan apa yang dilakukan. Untuk itu perlu adanya keyakinan di dalam hati dan tetap berlandaskan pada Tuhan Yang Maha Esa, agar setiap tindakan yang kita ambil merupakan kebaikan, kebenaran, serta terdapat kebermanfaatan sebagai ibadah karena-Nya.
Indahnya hidup adalah harmoni, nikmatnya hidup adalah harmoni, sehatnya hidup adalah harmoni. Harmoni berarti tidak berlebihan dan tidak kekurangan, saling mengisi agar tidak kosong, saling melengkapi, saling mengasihi, saling mengerti, serta saling memiliki kesadaran. Dalam menggapai harmoni berarti menyeimbangkan antara hati dan pikiran, menyeimbangkan perbuatan dan perkataan, menyeimbangkan hak dan kewajiban, serta menyeimbangkan urusan akhirat dan duniawi.
Hidup adalah kontradiksi, dan kontradiksi adalah arah dari ilmu. Jika kita ingin menggapai ilmu, maka kita harus menyiapkan pikiran kita dengan kontradiksi, tetapi kontradiksi hanya boleh ada di dalam pikiran, tidak untuk di hati, karena hati kita haruslah bersifat 'tetap', 'tetap' untuk yakin kepada Allah SWT. Di sinilah ranah tertinggi yang tidak boleh dilangkahi yaitu ranah spiritual. Jika terjadi pertentangan atau kontradiksi di dalam hati kita, maka pikiranlah yang telah menguasai hati kita, dan jika ini terjadi maka hidup kita akan jauh dari ketenangan tanpa landasan spiritual. Untuk itu, jagalah hati kita untuk istiqomah pada Allah SWT, karena kepada-Nyalah tujuan hidup kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar