Jumat, 11 Januari 2013

Sejauh Kesimpulanku Berfilsafat


Tidak terasa satu semester telah berlalu. Satu semester pula saya dan teman-teman sekelas saya belajar filsafat bersama dengan Bapak Marsigit. Dan sampai kepada penghujung semester, sebelum Ujian Akhir Semester (UAS), kita diberi kesempatan untuk menyampaikan kesimpulan berfilsafat. Awal sekali mendengar kata “filsafat”, merupakan kata yang sudah sering saya dengar tetapi selama ini yang saya ketahui tentang filsafat adalah suatu ilmu yang tingkat pemikirannya tinggi dan membutuhkan kedewasaan untuk dapat memahaminya. Hal ini karena saya belum pernah diajarkan tentang filsafat sebelum perkuliahan dengan Bapak Marsigit sampai pada awal semester tujuh kemarin dan saya juga belum pernah membaca buku yang khusus menjabarkan filsafat ataupun artikel/ elegy secara sadar.
Saya mencoba sedikit menyimpulkan apa yang saya tahu tentang filsafat melalui ringkasan-ringkasan refleksi yang sudah saya buat. Dari apa yang telah di sampaikan oleh Bapak Marsigit selama perkuliahan, banyak sekali pelajaran yang saya dapatkan mengenai filsafat. Poin yang saya dapatkan mengenai pengertian filsafat adalah ilmu tentang olah pikir dan refleksi (perenungan) dari hal-hal yang terjadi. Seperti yang kita ketahui, bahwa manusia dari kecil hingga dewasa bahkan sampai sebelum meninggal pun pasti selalu berpikir, kecuali jika manusia itu tertidur pulas. Manusia selalu saling membutuhkan satu sama lain, dan saling berinteraksi satu sama lain. Semakin sering kita berpikir dan melakukan refleksi terhadap hal yang terjadi pada kita maka kita akan mengetahui hakikat tujuan hidup kita dan kita akan dapat sampai pada satu tingkatan tertinggi dari hakikat filsafat itu sendiri, yaitu kedewasaan, kebijaksaan atau kearifan.
Manusia berfilsafat membutuhkan dua macam, yaitu berpikir logika dan pengalaman hidup. Seperti yang telah diungkapkan oleh bapak Marsigit bahwa metode untuk mempelajari filsafat adalah kehidupan, dan karakter kehidupan adalah juga karakter filsafat. Orang yang berfilsafat tidak harus hal-hal yang ‘waow’, akan tetapi dari hal yang sepele juga. Misalnya tentang berapakah usia semut? Atau pernahkah mengamati burung-burung saling berkomunikasi? Dan pertanyaan lainnya.
Selain itu, Bapak Marsigit mengungkapkan bahwa sebenar-benar berfilsafat adalah bertanya atau mengutarakan pertanyaan. Oleh karenanya, anjuran dari Bapak Masigit, agar saya lebih memahami hakikat filsafat adalah dengan membaca artikel – artikel Elegi beliau dan menuliskan komentar ataupun pertanyaan. Dalam kehidupan ini, semua orang pasti menginginkan kejelasan dan pemahaman. Oleh karenanya, manusia mengajukan pertanyaan tentang hal-hal yang belum diketahui dan ingin diketahui kejelasannya.
Membangun filsafat dengan metode hidup dapat dilakukan melalui berdoa, melihat, mendengar, dan sebagainya. Jadi, menurut saya, pemahaman berfilsafat memang ditekankan pada orang-orang yang sudah banyak pengalaman, akan tetapi tidak hanya itu, orang yang telah cukup dewasa dan dapat mengambil hikmah dari apa yang terjadi dan berusaha untuk menjadi lebih baik lagi juga disebut berfilsafat. Dari sini saya kembali kepada apa yang diungkapkan Bapak Marsigit, yakni letakkanlah spiritual di atas segalanya. Bahwa kebenaran sejati memang hanya datang dari Tuhan.
Tuhan Pasti Ada
Jika kita tidak mampu memikirkan tentang hakikat Tuhan bukan berarti Tuhan itu tidak ada. Disinilah peranan hati disamping juga otak yang berpikir. Kita dapat mengibaratkan hal tersebut dengan oksigen. Kita percaya bahwa kita bernafas menggunakan oksigen. Kita dapat merasakan bagaimana bernafas yakni menghirup oksigen, akan tetapi apakah kita dapat melihat zat oksigen tersebut? Dan bagaimanakah akibatnya jika tidak ada oksigen? Seperti itulah, bahwa ada hal yang tidak dapat ditangkap panca indera kita akan tetapi dapat dirasakan akibatnya jika zat tersebut tidak ada. Jika ada yang diciptakan pasti ada juga yang menciptakan, bukan? Bagi saya pemikiran ini rasional.


Filsafat Relatif Terhadap Ruang dan Waktu
Manusia setiap hari selalu melakukan aktivitas, mulai dari bangun tidur, makan, mandi, berinteraksi dengan orang lain, bekerja, belajar, hingga kemudian tidur lagi. Manusia bisa saja melakukan hal-hal tersebut tanpa berpikir karena kesemua hal tersebut sudah menjadi rutinitas dan kebiasaan sehari-harinya. Kecuali jika manusia itu merenung dan berrefleksi terhadap hal-hal yang terjadi dan menjadikan hari ini lebih baik daripada hari kemarin, dan hari esok harus lebih baik daripada hari ini, dan seterusnya.
Merenung dan berpikir tidak pernah lepas dari filsafat. Segala yang ada dan mungkin ada berdimensi naik turun. Tingkatan paling tinggi dari merenung adalah berpikir. Berpikir artinya mencari sesuatu yang baru atau menyelesaikan sesuatu atau masalah yang ada dengan suatu solusi. Sebenar-benar manusia adalah yang berpikir dan menggunakan hatinya juga, tidak hanya otak.
Manusia melakukan aktivitas berarti manusia itu sedang mengisi ruang dan waktu. Kerugian manusia adalah jika manusia sudah tidak sadar akan ruang dan waktu. Mengurusi hal yang bukan haknya itu pertanda manusia tidak kenal ruang dan waktu. Melakukan pekerjaan yang melampaui batas itu pertanda manusia tidak kenal ruang dan waktu. Menggunakan peralatan tidak sesuai dengan peruntukannya itu pertanda manusia tidak kenal ruang dan waktu. Memaksakan kehendak itu pertanda bahwa manusia tidak kenal ruang dan waktu. Menginginkan sesuatu diluar kemampuan dan wewenang itu juga pertanda manusia tidak kenal ruang dan waktu.
Maka agar manusia sadar ruang dan waktu, manusia harus pandai menerjemahkan hal yang terjadi dan harus ikhlas untuk menerima kritik dan saran dari orang lain. Ruang dan waktu adalah kendaran bagi manusia untuk mencapai tujuannya. Ruang dan waktu adalah sistem dan fasilitas bagi manusia. Ruang dan waktu bagi setiap orang pasti berbeda makna dan arti. Ada yang mengtakan waktu adalah uang. Ada yang mengatakan waktu adalah pedang. Ada juga yang mengatakan waktu berjalan sangat cepat ketika manusia itu merasa senang, ataupun waktu berjalan sangat lambat ketika manusia merasa sedih atau menunggu. Tergantung darimana manusia memandangnya.
Aliran Filsafat
Ajaran filsafat adalah hasil pemikiran sesorang atau beberapa ahli filsafat tentang sesuatu secara fundamental. Dalam memecahkan suatu masalah terdapat pebedaan di dalam penggunaan cara pendekatan, hal ini melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang berbeda pula, walaupun masalah yang dihadapi sama. Perbedaan ini dapat disebabkan pula oleh faktor-faktor lain seperti latar belakang pribadi para ahli tersebut, pengaruh zaman, kondisi dan alam pikiran manusia di suatu tempat.
Ajaran filsafat yang berbeda-beda tersebut, oleh para peneliti disusun dalam suatu sistematika dengan kategori tertentu, sehingga menghasilkan klasifikasi. Dari sinilah kemudian lahir apa yang disebut aliran filsafat. Banyak pemikiran-pemikiran dari para ahli filsafat masa lampau yang menghasilkan banyak aliran dalam filsafat. Aliran filsafat yang terkenal diantaranya adalah naturalisme, rasionalisme, realisme, absolutisme, dan lain-lain.
Filsafat, Agama, dan Ilmu Pengetahuan
Agama berarti mengabdikan diri, yang penting ialah hidup secara beragama sesuai dengan aturan-aturan agama itu. Agama menuntut pengetahuan untuk beribadat yang terutama merupakan hubungan manusia dengan Tuhan. Agama banyak berhubungan dengan hati. Agama dapat diumpamakan sebagai air sungai yang terjun dari bendungan dengan gemuruhnya. Agama, oleh pemeluk-pemeluknya, akan dipertahankan dengan habis-habisan, sebab mereka telah terikat dan mengabdikan diri. Agama, di samping memenuhi pemeluknya dengan semangat dan perasaan pengabdian diri, juga mempunyai efek yang menenangkan jiwa pemeluknya. Filsafat penting dalam mempelajari agama.
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu, dengan mencari sebab-sebab terdalam, berdasarkan kekuatan pikiran manusia sendiri. Ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan mengenai suatu hal tertentu (objek atau lapangannya), yang merupakan kesatuan yang sistematis, dan memberikan penjelasan yang dapat dipertanggungjawabkan dengan menunjukkan sebab-sebab hal itu.
Filsafat mempunyai metode dan sistem sendiri dalam usahanya untuk mencari hakikat dari segala sesuatu, dan yang dicari ialah sebab-sebab yang terdalam. Ilmu-ilmu pengetahuan dirinci menurut lapangan atau objek dan sudut pandang. Objek dan sudut pandang filsafat disebut juga dalam definisinya, yaitu “segala sesuatu”.
Alat yang kita gunakan dalam usaha kita untuk mencapai kebijaksanaan itu adalah pikiran kita sendiri. Ini membedakan filsafat dari agama yang juga mengenai segala sesuatu, tetapi yang berdasarkan wahyu Tuhan. Filsafat tidak berdasarkan wahyu Tuhan, tidak meminta pertolongan dari Kitab Suci, tetapi berdasarkan asas-asas dan dasar-dasarnya hanya dengan cara analisis-analisis oleh pikiran kita sendiri. Justru karena itu, filsafat dapat merumuskan hukum-hukum yang berlaku umum, bagi setiap orang, terserah agama mana yang dianutnya. Akan tetapi, ini pun kelemahan filsafat, jika hanya filsafat saja yang cukup dipakai sebagai pegangan hidup, pandangan hidup, maka ini tidak cukup, sebab banyak pertanyaan yang tidak dapat dijawab dengan 100% memuaskan oleh filsafat, sedangkan filsafat sendiri dalam usahanya mencari hakikat dari seluruh kenyataan menunjuk kepada Tuhan sebagai sumber terakhir dan sebab pertama. Jadi, sebetulnya filsafat dan agama tidak bertentangan, tetapi saling melengkapi.
Filsafat Mengajarkan Keikhlasan
Manusia yang berilmu lebih tinggi dimensinya dibanding dengan yang tidak berilmu, karena dengan ilmu kita akan mengerti makna hidup, dengan ilmu kita mengerti akan dunia dan seisinya hingga batas pikiran kita. Sedangkan orang yang tidak berilmu hanya akan pasrah pada kehidupannya. Kita menggapai ilmu adalah dengan berpikir, dan ilmu meliputi yang ada dan mungkin ada sangatlah luas hingga batas pikiran kita. Untuk itu, upaya untuk meraih ilmu seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya adalah dengan meningkatkan kemampuan berpikir kita. Dari pola pikir inilah juga yang akan membedakan dimensi kita dengan orang lain. Upaya ini juga harus diimbangi dengan hati yang ikhlas, sehingga kita tidak hanya sebagai manusia berilmu tetapi juga bernurani.
Dalam beribadah kepada Tuhan kita hendaknya diikuti dengan ikhlas. Ikhlas tidak hanya di dalam hati, tetapi juga dalam pikiran, dan keduanya saling berhubungan. Ketika kita ingin menggapai ikhlas dalam pikiran, kita juga memerlukan ikhlas dalam hati.
Diri kita adalah kontradiksi. Jika kita mengatakan 'aku' adalah 'aku', 'aku' yang diucapkan pertama sudah berbeda dengan 'aku' yang kedua dikarenakan ruang dan waktu. Ruang yang berbeda-beda dan waktu yang terus selalu berjalan akan menjadikan segala sesuatunya kontradiksi, karena hidup adalah ruang dan waktu, dan ruang dan waktu adalah kontradiksi maka segala sesuatu yang tidak terlepas dari ruang dan waktu adalah kontradiksi.
Kontradiksi antara hati dan tindakan dapat terjadi ketika apa yang dirasakan dalam hati tidak sesuai dengan yang dilakukan atau dapat dikatakan saling bertentangan, maka inilah keadaan disharmoni di dalam diri. Keadaan dimana sesuatu itu tidak saling bersesuaian. Hal ini terjadi dikarenakan kurangnya keyakinan di dalam hati, sehingga ragu-ragu mengambil tindakan dan akhirnya berbeda dengan apa yang dilakukan. Untuk itu perlu adanya keyakinan di dalam hati dan tetap berlandaskan pada Tuhan Yang Maha Esa, agar setiap tindakan yang kita ambil merupakan kebaikan, kebenaran, serta terdapat kebermanfaatan sebagai ibadah karena-Nya.
Indahnya hidup adalah harmoni, nikmatnya hidup adalah harmoni, sehatnya hidup adalah harmoni. Harmoni berarti tidak berlebihan dan tidak kekurangan, saling mengisi agar tidak kosong, saling melengkapi, saling mengasihi, saling mengerti, serta saling memiliki kesadaran. Dalam menggapai harmoni berarti menyeimbangkan antara hati dan pikiran, menyeimbangkan perbuatan dan perkataan, menyeimbangkan hak dan kewajiban, serta menyeimbangkan urusan akhirat dan duniawi.
Antara Intelek dan Intuisi
Henri Bergson adalah seorang filsuf ternama di abad 20 yang menuliskan tentang metafisika. Ia memperdebatkan bahwa intuisi itu lebih dalam dari intelek. Intuisi, menurutnya, merupakan metode “berpikir dalam durasi” dan selalu mencerminkan adanya realitas yang terus mengalir. Untuk menjelaskan lebih dalam akan filsafatnya, Bergson membedakan dua dasar pemikirannya yaitu intuisi dan pemikiran konseptual. Intuisi dan intelek dapat dikombinasikan untuk mendapatkan pengetahuan dinamis akan realitas. Bergson memandang bahwa intelek itu sebagai suatu instrumen atau alat yang digunakan untuk membantu atau meningkatkan kehidupan. Bergson juga mengatakan kemudian bahwa intuisilah yang bisa menerangkan realitas hidup dan bukan konsep-konsep intelek .
Bergson mengatakan bahwa intuisi itu jangan disamakan dengan perasaan dan emosi secara harafiah. Kita harus melihatnya sebagai sesuatu yang bergantung pada kemampuan khusus yang didapatkan dari ilmu non-alam. Intuisi itu sepertinya suatu tindakan atau rentetan dari tindakan-tindakan yang berasal dari pengalaman. Intuisi ini hanya bisa didapatkan dengan melepaskan diri dari tuntutan-tuntutan tindakan, yaitu dengan membenamkan diri dengan kesadaran spontan.
Karena kita dapat menemukan kepribadian kita dengan berjalannya waktu dan proses untuk sampai pada perubahan sepertinya sulit untuk berhenti. Inilah yang dimaksudkan bahwa dengan intuisi kita akan mendapatkan bentuk pengetahuan yang menyatakan realitas itu continu dan tak dapat terbagi. Realitas akan selalu berubah karena dalam hidup manusia akan selalu ada kebebasan akan kreativitas.
Intelek memang mampu memberikan pengetahuan kepada kita tetapi lebih baik lagi bila pengetahuan itu juga didapatkan dengan intuisi. Dan intuisi dalam diri kita juga menyarankan diri kita agar terus berjuang menjadi orang yang bermanfaat bagi sesama dan sukses di masa depan.
Manfaat Berfilsafat
Filsafat yang berarti perenungan juga merupakan salah satu cara membangun kebiasaan yang baik. Terkadang kita mengetahui bahwa kebiasaan yang kita lakukan belum baik tetapi juga bukan hal yang mudah untuk menggantinya dengan kebiasaan yang lebih baik. Bahkan kita merasa nyaman dalam keadaan ‘kebiasaan’ yang kurang baik itu. Dari apa yang saya pelajari dan rasakan, membangun kebiasaan yang baik memang harus dimulai dengan ‘paksaan’ pada diri sendiri. Dan ketika paksaan itu terjadi secara terus menerus sepanjang waktu setiap hari maka dengan sendirinya paksaan yang merupakan latihan untuk kebiasaan baik itu akan benar-benar menjadi kebiasaan baik. Pikiran dan hati juga tidak lagi terbebani dengan ‘paksaan’ tersebut karena sudah menjadi sesuatu yang biasa.
Sesungguhnya hakikat bimbang dan khawatir itu adalah batas antara pikiran dan hati. Kita perlu menyeimbangkan penggunaan pikiran dan hati. Jika manusia berada dalam keadaan pikiran yang jernih dan hati yang bersih maka disitu tidak akan ada rasa khawatir. Pikiran dan hati tidak dapat dipisahkan. Ini karena manusia adalah makhluk Tuhan yang paling sempurna. Manusia memang tidak pernah lepas dari dosa. Dan dosa itulah salah satu yang membuat hidup dirudung rasa khawatir. Untuk bisa mendapatkan pikiran yang jernih dan hati yang bersih, manusia perlu berdoa dan berserah diri kepada Tuhan. Berdoa adalah pekerjaan hati, hati bisa melantunkan doa dengan khusyu dan tawadhu.
Bimbang juga merupakan keadaan dimana kita tidak dapat memutuskan suatu hal itu bernilai baik atau buruk, benar atau salah sehingga kita tidak dapat memutuskan. Untuk mendapatkan keputusan yang tepat agar tidak terjadi kekhawatiran terdapat dua macam cara dalam berpikir, yakni menggunakan pikiran sebaik mungkin atau tidak menggunakan pikiran sama sekali. Ketika pemikiran kita salah, sebenarnya hati kita melakukan pemberontakan. Hati adalah tolak ukur yang benar dan yang salah.
Referensi:
http://amazingfilsafat.blogspot.com/2007/04/henri-bergson-antara-intelek-dan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar