Filsafat adalah olah pikir. Filsafat itu menembus ruang dan waktu, sehingga objek filsafat yakni segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada dapat digali. Namun jangan sampai karena anggapan segala sesuatu sebagai objek filsafat, baik yang ada dan yang mungkin ada adalah kajian filsafat, lantas kita berfilsafat yang sesat. Ketika muncul pertanyaan bagaimana wujud Tuhan. Itu berarti pikiran lebih mendominasi daripada hati, pikiran telah menjadi raja dalam diri manusia tersebut. Padahal sejatinya filsafat itu tetap meletakkan Tuhan dalam hati yang menjadi raja, penguasa diri kita.
Manusia yang berilmu lebih tinggi
dimensinya dibanding dengan yang tidak berilmu, karena dengan ilmu kita akan
mengerti makna hidup, dengan ilmu kita mengerti akan dunia dan seisinya hingga
batas pikiran kita. Sedangkan orang yang tidak berilmu hanya akan pasrah pada
kehidupannya. Kita menggapai ilmu adalah dengan berpikir, dan ilmu meliputi
yang ada dan mungkin ada sangatlah luas hingga batas pikiran kita. Untuk itu,
upaya untuk meraih ilmu seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya adalah dengan
meningkatkan kemampuan berpikir kita. Dari pola pikir inilah juga yang akan
membedakan dimensi kita dengan orang lain. Upaya ini juga harus diimbangi
dengan hati yang ikhlas, sehingga kita tidak hanya sebagai manusia berilmu
tetapi juga bernurani.
Dalam beribadah kepada Tuhan kita
hendaknya diikuti dengan ikhlas. Ikhlas tidak hanya di dalam hati, tetapi juga dalam
pikiran, dan keduanya saling berhubungan. Ketika kita ingin menggapai ikhlas
dalam pikiran, kita juga memerlukan ikhlas dalam hati.
Diri kita adalah kontradiksi. Jika
kita mengatakan 'aku' adalah 'aku', 'aku' yang diucapkan pertama sudah berbeda
dengan 'aku' yang kedua dikarenakan ruang dan waktu. Ruang yang berbeda-beda
dan waktu yang terus selalu berjalan akan menjadikan segala sesuatunya
kontradiksi, karena hidup adalah ruang dan waktu, dan ruang dan waktu adalah
kontradiksi maka segala sesuatu yang tidak terlepas dari ruang dan waktu adalah
kontradiksi.
Kontradiksi antara hati dan tindakan
dapat terjadi ketika apa yang dirasakan dalam hati tidak sesuai dengan yang
dilakukan atau dapat dikatakan saling bertentangan, maka inilah keadaan
disharmoni di dalam diri. Keadaan dimana sesuatu itu tidak saling bersesuaian.
Hal ini terjadi dikarenakan kurangnya keyakinan di dalam hati, sehingga
ragu-ragu mengambil tindakan dan akhirnya berbeda dengan apa yang dilakukan. Untuk
itu perlu adanya keyakinan di dalam hati dan tetap berlandaskan pada Tuhan Yang
Maha Esa, agar setiap tindakan yang kita ambil merupakan kebaikan, kebenaran,
serta terdapat kebermanfaatan sebagai ibadah karena-Nya.
Indahnya hidup adalah harmoni,
nikmatnya hidup adalah harmoni, sehatnya hidup adalah harmoni. Harmoni berarti
tidak berlebihan dan tidak kekurangan, saling mengisi agar tidak kosong, saling
melengkapi, saling mengasihi, saling mengerti, serta saling memiliki kesadaran.
Dalam menggapai harmoni berarti menyeimbangkan antara hati dan pikiran,
menyeimbangkan perbuatan dan perkataan, menyeimbangkan hak dan kewajiban, serta
menyeimbangkan urusan akhirat dan duniawi.
Hidup adalah kontradiksi, dan
kontradiksi adalah arah dari ilmu. Jika kita ingin menggapai ilmu, maka kita
harus menyiapkan pikiran kita dengan kontradiksi, tetapi kontradiksi hanya
boleh ada di dalam pikiran, tidak untuk di hati, karena hati kita haruslah
bersifat 'tetap', 'tetap' untuk yakin kepada Allah SWT. Di sinilah ranah
tertinggi yang tidak boleh dilangkahi yaitu ranah spiritual. Jika terjadi
pertentangan atau kontradiksi di dalam hati kita, maka pikiranlah yang telah
menguasai hati kita, dan jika ini terjadi maka hidup kita akan jauh dari
ketenangan tanpa landasan spiritual. Untuk itu, jagalah hati kita untuk istiqomah
pada Allah SWT, karena kepada-Nyalah tujuan hidup kita.