Sebelumnya terimakasih karena Bapak Marsigit sudah
menjawab sedikit pertanyaan saya pada pertemuan Minggu lalu mengenai cara
membangun kebiasaan yang baik dan bagaimana kita harus bersikap jika kita berada
dalam kebimbangan dan kekhawatiran.
Yang pertama yakni mengenai cara membangun kebiasaan
yang baik. Terkadang kita mengetahui bahwa kebiasaan yang kita lakukan belum
baik tetapi juga bukan hal yang mudah untuk menggantinya dengan kebiasaan yang
lebih baik. Bahkan kita merasa nyaman dalam keadaan ‘kebiasaan’ yang kurang
baik itu.
Dari apa yang saya tangkap, membangun kebiasaan yang
baik memang harus dimulai dengan ‘paksaan’ pada diri sendiri. Dan ketika
paksaan itu terjadi secara terus menerus sepanjang waktu setiap hari maka
dengan sendirinya paksaan yang merupakan latihan untuk kebiasaan baik itu akan
benar-benar menjadi kebiasaan baik. Pikiran dan hati juga tidak lagi terbebani
dengan ‘paksaan’ tersebut karena sudah menjadi sesuatu yang biasa.
Saya telah membaca elegi Bapak yang berkaitan dengan
pertanyaan saya mengenai kebimbangan dan kekhawatiran, yaitu Elegi Menggapai
Hati. Memang benar sesungguhnya hakikat bimbang dan khawatir itu adalah batas
antara pikiran dan hati. Kita perlu menyeimbangkan penggunaan pikiran dan hati.
Jika manusia berada dalam keadaan pikiran yang jernih dan hati yang bersih maka
disitu tidak akan ada rasa khawatir.
Pikiran dan hati tidak dapat dipisahkan. Ini karena manusia
adalah makhluk Tuhan yang paling sempurna. Manusia memang tidak pernah lepas
dari dosa. Dan dosa itulah salah satu yang membuat hidup dirudung rasa
khawatir. Untuk bisa mendapatkan pikiran yang jernih dan hati yang bersih,
manusia perlu berdoa dan berserah diri kepada Tuhan. Berdoa adalah pekerjaan
hati, hati bisa melantunkan doa dengan khusyu dan tawadhu.
Bimbang juga merupakan keadaan dimana kita tidak dapat
memutuskan suatu hal itu bernilai baik atau buruk, benar atau salah sehingga
kita tidak dapat memutuskan. Untuk mendapatkan keputusan yang tepat agar tidak
terjadi kekhawatiran terdapat dua macam cara dalam berpikir, yakni menggunakan
pikiran sebaik mungkin atau tidak menggunakan pikiran sama sekali.
Ketika pemikiran kita salah, sebenarnya hati kita
melakukan pemberontakan. Hati adalah tolak ukur yang benar dan yang salah. Akan
tetapi hal tersebut memang sudah menjadi hal alami yang dihadapi manusia selama
manusia tersebut masih menghembuskan nafas di dunia ini. Semoga Tuhan
senantiasa memberi kedamaian dan ketenteraman dalam hidup kita, amiin.
Pertanyaan
untuk Bapak Marsigit:
Bagaimana
cara kita bersikap agar seiring usia kita semakin bertambah, bertambah pula
kedewasaan kita?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar