Tidak terasa satu semester telah
berlalu. Satu semester pula saya dan teman-teman sekelas saya belajar filsafat
bersama dengan Bapak Marsigit. Dan sampai kepada penghujung semester, sebelum
Ujian Akhir Semester (UAS), kita diberi kesempatan untuk menyampaikan
kesimpulan berfilsafat. Awal sekali mendengar kata “filsafat”, merupakan kata
yang sudah sering saya dengar tetapi selama ini yang saya ketahui tentang
filsafat adalah suatu ilmu yang tingkat pemikirannya tinggi dan membutuhkan
kedewasaan untuk dapat memahaminya. Hal ini karena saya belum pernah diajarkan
tentang filsafat sebelum perkuliahan dengan Bapak Marsigit sampai pada awal
semester tujuh kemarin dan saya juga belum pernah membaca buku yang khusus
menjabarkan filsafat ataupun artikel/ elegy secara sadar.
Saya mencoba sedikit menyimpulkan apa
yang saya tahu tentang filsafat melalui ringkasan-ringkasan refleksi yang sudah
saya buat. Dari apa yang telah di sampaikan oleh Bapak
Marsigit selama perkuliahan, banyak sekali pelajaran yang saya dapatkan mengenai
filsafat. Poin yang saya dapatkan mengenai pengertian filsafat adalah ilmu
tentang olah pikir dan refleksi (perenungan) dari hal-hal yang terjadi. Seperti
yang kita ketahui, bahwa manusia dari kecil hingga dewasa bahkan sampai sebelum
meninggal pun pasti selalu berpikir, kecuali jika manusia itu tertidur pulas.
Manusia selalu saling membutuhkan satu sama lain, dan saling berinteraksi satu
sama lain. Semakin sering kita berpikir dan melakukan refleksi terhadap hal
yang terjadi pada kita maka kita akan mengetahui hakikat tujuan hidup kita dan
kita akan dapat sampai pada satu tingkatan tertinggi dari hakikat filsafat itu
sendiri, yaitu kedewasaan, kebijaksaan atau kearifan.
Manusia berfilsafat membutuhkan dua
macam, yaitu berpikir logika dan pengalaman hidup. Seperti yang telah
diungkapkan oleh bapak Marsigit bahwa metode untuk mempelajari filsafat adalah
kehidupan, dan karakter kehidupan adalah juga karakter filsafat. Orang yang
berfilsafat tidak harus hal-hal yang ‘waow’, akan tetapi dari hal yang sepele
juga. Misalnya tentang berapakah usia semut? Atau pernahkah mengamati burung-burung
saling berkomunikasi? Dan pertanyaan lainnya.
Selain itu, Bapak Marsigit mengungkapkan
bahwa sebenar-benar berfilsafat adalah bertanya atau mengutarakan pertanyaan.
Oleh karenanya, anjuran dari Bapak Masigit,
agar saya lebih memahami hakikat filsafat adalah dengan membaca artikel – artikel
Elegi beliau dan menuliskan komentar ataupun pertanyaan. Dalam
kehidupan ini, semua orang pasti menginginkan kejelasan dan pemahaman. Oleh
karenanya, manusia mengajukan pertanyaan tentang hal-hal yang belum diketahui
dan ingin diketahui kejelasannya.
Membangun filsafat dengan metode hidup
dapat dilakukan melalui berdoa, melihat, mendengar, dan sebagainya. Jadi, menurut
saya, pemahaman berfilsafat memang ditekankan pada orang-orang yang sudah
banyak pengalaman, akan tetapi tidak hanya itu, orang yang telah cukup dewasa
dan dapat mengambil hikmah dari apa yang terjadi dan berusaha untuk menjadi
lebih baik lagi juga disebut berfilsafat. Dari sini saya kembali kepada apa
yang diungkapkan Bapak Marsigit, yakni letakkanlah spiritual di atas segalanya.
Bahwa kebenaran sejati memang hanya datang dari Tuhan.
Tuhan Pasti Ada
Jika kita tidak mampu memikirkan tentang
hakikat Tuhan bukan berarti Tuhan itu tidak ada. Disinilah peranan hati
disamping juga otak yang berpikir. Kita dapat mengibaratkan hal tersebut dengan
oksigen. Kita percaya bahwa kita bernafas menggunakan oksigen. Kita dapat merasakan
bagaimana bernafas yakni menghirup oksigen, akan tetapi apakah kita dapat
melihat zat oksigen tersebut? Dan bagaimanakah akibatnya jika tidak ada
oksigen? Seperti itulah, bahwa ada hal yang tidak dapat ditangkap panca indera
kita akan tetapi dapat dirasakan akibatnya jika zat tersebut tidak ada. Jika
ada yang diciptakan pasti ada juga yang menciptakan, bukan? Bagi saya pemikiran
ini rasional.
Filsafat Relatif Terhadap Ruang dan
Waktu
Manusia setiap hari selalu melakukan
aktivitas, mulai dari bangun tidur, makan, mandi, berinteraksi dengan orang
lain, bekerja, belajar, hingga kemudian tidur lagi. Manusia bisa saja melakukan
hal-hal tersebut tanpa berpikir karena kesemua hal tersebut sudah menjadi
rutinitas dan kebiasaan sehari-harinya. Kecuali jika manusia itu merenung dan
berrefleksi terhadap hal-hal yang terjadi dan menjadikan hari ini lebih baik
daripada hari kemarin, dan hari esok harus lebih baik daripada hari ini, dan
seterusnya.
Merenung dan berpikir tidak pernah lepas
dari filsafat. Segala yang ada dan mungkin ada berdimensi naik turun. Tingkatan
paling tinggi dari merenung adalah berpikir. Berpikir artinya mencari sesuatu
yang baru atau menyelesaikan sesuatu atau masalah yang ada dengan suatu solusi.
Sebenar-benar manusia adalah yang berpikir dan menggunakan hatinya juga, tidak
hanya otak.
Manusia melakukan aktivitas berarti manusia itu sedang
mengisi ruang dan waktu. Kerugian manusia adalah jika manusia sudah tidak sadar
akan ruang dan waktu. Mengurusi hal yang bukan haknya itu pertanda manusia
tidak kenal ruang dan waktu. Melakukan pekerjaan yang melampaui batas itu
pertanda manusia tidak kenal ruang dan waktu. Menggunakan peralatan tidak
sesuai dengan peruntukannya itu pertanda manusia tidak kenal ruang dan waktu.
Memaksakan kehendak itu pertanda bahwa manusia tidak kenal ruang dan waktu.
Menginginkan sesuatu diluar kemampuan dan wewenang itu juga pertanda manusia
tidak kenal ruang dan waktu.
Maka agar manusia sadar ruang dan waktu, manusia harus
pandai menerjemahkan hal yang terjadi dan harus ikhlas untuk menerima kritik
dan saran dari orang lain. Ruang dan waktu adalah kendaran bagi manusia untuk
mencapai tujuannya. Ruang dan waktu adalah sistem dan fasilitas bagi manusia. Ruang
dan waktu bagi setiap orang pasti berbeda makna dan arti. Ada yang mengtakan
waktu adalah uang. Ada yang mengatakan waktu adalah pedang. Ada juga yang
mengatakan waktu berjalan sangat cepat ketika manusia itu merasa senang,
ataupun waktu berjalan sangat lambat ketika manusia merasa sedih atau menunggu.
Tergantung darimana manusia memandangnya.
Aliran Filsafat
Ajaran
filsafat adalah hasil pemikiran sesorang atau beberapa ahli filsafat tentang
sesuatu secara fundamental. Dalam memecahkan suatu masalah terdapat pebedaan di
dalam penggunaan cara pendekatan, hal ini melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang
berbeda pula, walaupun masalah yang dihadapi sama. Perbedaan ini dapat
disebabkan pula oleh faktor-faktor lain seperti latar belakang pribadi para
ahli tersebut, pengaruh zaman, kondisi dan alam pikiran manusia di suatu
tempat.
Ajaran
filsafat yang berbeda-beda tersebut, oleh para peneliti disusun dalam suatu
sistematika dengan kategori tertentu, sehingga menghasilkan klasifikasi. Dari
sinilah kemudian lahir apa yang disebut aliran filsafat. Banyak pemikiran-pemikiran
dari para ahli filsafat masa lampau yang menghasilkan banyak aliran dalam
filsafat. Aliran filsafat yang terkenal diantaranya adalah naturalisme,
rasionalisme, realisme, absolutisme, dan lain-lain.
Filsafat, Agama, dan Ilmu Pengetahuan
Agama
berarti mengabdikan diri, yang penting ialah hidup secara beragama sesuai
dengan aturan-aturan agama itu. Agama menuntut pengetahuan untuk beribadat yang
terutama merupakan hubungan manusia dengan Tuhan. Agama banyak berhubungan
dengan hati. Agama dapat diumpamakan sebagai air sungai yang terjun dari
bendungan dengan gemuruhnya. Agama, oleh pemeluk-pemeluknya, akan dipertahankan
dengan habis-habisan, sebab mereka telah terikat dan mengabdikan diri. Agama,
di samping memenuhi pemeluknya dengan semangat dan perasaan pengabdian diri,
juga mempunyai efek yang menenangkan jiwa pemeluknya. Filsafat penting dalam
mempelajari agama.
Filsafat
adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu, dengan mencari
sebab-sebab terdalam, berdasarkan kekuatan pikiran manusia sendiri. Ilmu
pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan mengenai suatu hal tertentu (objek atau
lapangannya), yang merupakan kesatuan yang sistematis, dan memberikan
penjelasan yang dapat dipertanggungjawabkan dengan menunjukkan sebab-sebab hal
itu.
Filsafat
mempunyai metode dan sistem sendiri dalam usahanya untuk mencari hakikat dari
segala sesuatu, dan yang dicari ialah sebab-sebab yang terdalam. Ilmu-ilmu
pengetahuan dirinci menurut lapangan atau objek dan sudut pandang. Objek dan
sudut pandang filsafat disebut juga dalam definisinya, yaitu “segala sesuatu”.
Alat
yang kita gunakan dalam usaha kita untuk mencapai kebijaksanaan itu adalah
pikiran kita sendiri. Ini membedakan filsafat dari agama yang juga mengenai
segala sesuatu, tetapi yang berdasarkan wahyu Tuhan. Filsafat tidak berdasarkan
wahyu Tuhan, tidak meminta pertolongan dari Kitab Suci, tetapi berdasarkan
asas-asas dan dasar-dasarnya hanya dengan cara analisis-analisis oleh pikiran
kita sendiri. Justru karena itu, filsafat dapat merumuskan hukum-hukum yang
berlaku umum, bagi setiap orang, terserah agama mana yang dianutnya. Akan tetapi,
ini pun kelemahan filsafat, jika hanya filsafat saja yang cukup dipakai sebagai
pegangan hidup, pandangan hidup, maka ini tidak cukup, sebab banyak pertanyaan
yang tidak dapat dijawab dengan 100% memuaskan oleh filsafat, sedangkan
filsafat sendiri dalam usahanya mencari hakikat dari seluruh kenyataan menunjuk
kepada Tuhan sebagai sumber terakhir dan sebab pertama. Jadi, sebetulnya
filsafat dan agama tidak bertentangan, tetapi saling melengkapi.
Filsafat Mengajarkan Keikhlasan
Manusia
yang berilmu lebih tinggi dimensinya dibanding dengan yang tidak berilmu,
karena dengan ilmu kita akan mengerti makna hidup, dengan ilmu kita mengerti
akan dunia dan seisinya hingga batas pikiran kita. Sedangkan orang yang tidak
berilmu hanya akan pasrah pada kehidupannya. Kita menggapai ilmu adalah dengan
berpikir, dan ilmu meliputi yang ada dan mungkin ada sangatlah luas hingga
batas pikiran kita. Untuk itu, upaya untuk meraih ilmu seluas-luasnya dan
sedalam-dalamnya adalah dengan meningkatkan kemampuan berpikir kita. Dari pola
pikir inilah juga yang akan membedakan dimensi kita dengan orang lain. Upaya
ini juga harus diimbangi dengan hati yang ikhlas, sehingga kita tidak hanya
sebagai manusia berilmu tetapi juga bernurani.
Dalam
beribadah kepada Tuhan kita hendaknya diikuti dengan ikhlas. Ikhlas tidak hanya
di dalam hati, tetapi juga dalam pikiran, dan keduanya saling berhubungan.
Ketika kita ingin menggapai ikhlas dalam pikiran, kita juga memerlukan ikhlas
dalam hati.
Diri
kita adalah kontradiksi. Jika kita mengatakan 'aku' adalah 'aku', 'aku' yang
diucapkan pertama sudah berbeda dengan 'aku' yang kedua dikarenakan ruang dan
waktu. Ruang yang berbeda-beda dan waktu yang terus selalu berjalan akan
menjadikan segala sesuatunya kontradiksi, karena hidup adalah ruang dan waktu,
dan ruang dan waktu adalah kontradiksi maka segala sesuatu yang tidak terlepas
dari ruang dan waktu adalah kontradiksi.
Kontradiksi
antara hati dan tindakan dapat terjadi ketika apa yang dirasakan dalam hati
tidak sesuai dengan yang dilakukan atau dapat dikatakan saling bertentangan,
maka inilah keadaan disharmoni di dalam diri. Keadaan dimana sesuatu itu tidak
saling bersesuaian. Hal ini terjadi dikarenakan kurangnya keyakinan di dalam
hati, sehingga ragu-ragu mengambil tindakan dan akhirnya berbeda dengan apa
yang dilakukan. Untuk itu perlu adanya keyakinan di dalam hati dan tetap
berlandaskan pada Tuhan Yang Maha Esa, agar setiap tindakan yang kita ambil
merupakan kebaikan, kebenaran, serta terdapat kebermanfaatan sebagai ibadah
karena-Nya.
Indahnya
hidup adalah harmoni, nikmatnya hidup adalah harmoni, sehatnya hidup adalah
harmoni. Harmoni berarti tidak berlebihan dan tidak kekurangan, saling mengisi agar
tidak kosong, saling melengkapi, saling mengasihi, saling mengerti, serta
saling memiliki kesadaran. Dalam menggapai harmoni berarti menyeimbangkan
antara hati dan pikiran, menyeimbangkan perbuatan dan perkataan, menyeimbangkan
hak dan kewajiban, serta menyeimbangkan urusan akhirat dan duniawi.
Antara Intelek dan Intuisi
Henri
Bergson adalah seorang filsuf ternama di abad 20 yang menuliskan tentang
metafisika. Ia memperdebatkan bahwa intuisi itu lebih dalam dari intelek. Intuisi,
menurutnya, merupakan metode “berpikir dalam durasi” dan selalu mencerminkan
adanya realitas yang terus mengalir. Untuk menjelaskan lebih dalam akan
filsafatnya, Bergson membedakan dua dasar pemikirannya yaitu intuisi dan
pemikiran konseptual. Intuisi dan intelek dapat dikombinasikan untuk
mendapatkan pengetahuan dinamis akan realitas. Bergson memandang bahwa intelek
itu sebagai suatu instrumen atau alat yang digunakan untuk membantu atau
meningkatkan kehidupan. Bergson juga mengatakan kemudian bahwa intuisilah yang
bisa menerangkan realitas hidup dan bukan konsep-konsep intelek .
Bergson
mengatakan bahwa intuisi itu jangan disamakan dengan perasaan dan emosi secara
harafiah. Kita harus melihatnya sebagai sesuatu yang bergantung pada kemampuan
khusus yang didapatkan dari ilmu non-alam. Intuisi itu sepertinya suatu
tindakan atau rentetan dari tindakan-tindakan yang berasal dari pengalaman.
Intuisi ini hanya bisa didapatkan dengan melepaskan diri dari tuntutan-tuntutan
tindakan, yaitu dengan membenamkan diri dengan kesadaran spontan.
Karena
kita dapat menemukan kepribadian kita dengan berjalannya waktu dan proses untuk
sampai pada perubahan sepertinya sulit untuk berhenti. Inilah yang dimaksudkan
bahwa dengan intuisi kita akan mendapatkan bentuk pengetahuan yang menyatakan
realitas itu continu dan tak dapat terbagi. Realitas akan selalu berubah karena
dalam hidup manusia akan selalu ada kebebasan akan kreativitas.
Intelek
memang mampu memberikan pengetahuan kepada kita tetapi lebih baik lagi bila
pengetahuan itu juga didapatkan dengan intuisi. Dan intuisi dalam diri kita
juga menyarankan diri kita agar terus berjuang menjadi orang yang bermanfaat
bagi sesama dan sukses di masa depan.
Manfaat Berfilsafat
Filsafat yang berarti perenungan juga merupakan salah
satu cara membangun kebiasaan yang baik. Terkadang kita mengetahui bahwa
kebiasaan yang kita lakukan belum baik tetapi juga bukan hal yang mudah untuk
menggantinya dengan kebiasaan yang lebih baik. Bahkan kita merasa nyaman dalam
keadaan ‘kebiasaan’ yang kurang baik itu. Dari apa yang saya pelajari dan
rasakan, membangun kebiasaan yang baik memang harus dimulai dengan ‘paksaan’
pada diri sendiri. Dan ketika paksaan itu terjadi secara terus menerus
sepanjang waktu setiap hari maka dengan sendirinya paksaan yang merupakan
latihan untuk kebiasaan baik itu akan benar-benar menjadi kebiasaan baik.
Pikiran dan hati juga tidak lagi terbebani dengan ‘paksaan’ tersebut karena
sudah menjadi sesuatu yang biasa.
Sesungguhnya hakikat bimbang dan khawatir itu adalah
batas antara pikiran dan hati. Kita perlu menyeimbangkan penggunaan pikiran dan
hati. Jika manusia berada dalam keadaan pikiran yang jernih dan hati yang
bersih maka disitu tidak akan ada rasa khawatir. Pikiran dan hati tidak dapat
dipisahkan. Ini karena manusia adalah makhluk Tuhan yang paling sempurna.
Manusia memang tidak pernah lepas dari dosa. Dan dosa itulah salah satu yang
membuat hidup dirudung rasa khawatir. Untuk bisa mendapatkan pikiran yang
jernih dan hati yang bersih, manusia perlu berdoa dan berserah diri kepada Tuhan.
Berdoa adalah pekerjaan hati, hati bisa melantunkan doa dengan khusyu dan
tawadhu.
Bimbang juga merupakan keadaan dimana kita tidak dapat
memutuskan suatu hal itu bernilai baik atau buruk, benar atau salah sehingga
kita tidak dapat memutuskan. Untuk mendapatkan keputusan yang tepat agar tidak
terjadi kekhawatiran terdapat dua macam cara dalam berpikir, yakni menggunakan
pikiran sebaik mungkin atau tidak menggunakan pikiran sama sekali. Ketika
pemikiran kita salah, sebenarnya hati kita melakukan pemberontakan. Hati adalah
tolak ukur yang benar dan yang salah.
Referensi:
http://amazingfilsafat.blogspot.com/2007/04/henri-bergson-antara-intelek-dan.html