Filsafat merupakan kata yang sudah
sering saya dengar tetapi selama ini yang saya ketahui tentang filsafat adalah suatu
ilmu yang tingkat pemikirannya tinggi dan membutuhkan kedewasaan untuk dapat
memahaminya. Kenapa saya berpikiran demikian? Karena saya juga melihat di buku
kurikulum pendidikan 2009 bahwa mata kuliah ini diajarkan di tahun keempat
perkuliahan. Saya juga belum pernah membaca buku yang khusus menjabarkan
filsafat ataupun diajarkan tentang filsafat sebelum perkuliahan dengan Bapak
Marsigit pada pertemuan Minggu lalu.
Dari apa yang telah di sampaikan oleh Bapak
Marsigit pada perkuliahan Minggu lalu, mungkin ada hal yang disampaikan Bapak
Marsigit yang sejalan dengan pemikiran saya yang pertama mengenai filsafat,
bahwa orang yang berfilsafat itu orang yang sudah banyak pengalaman. Dari sini
saya semakin tertarik untuk mempelajari filsafat.
Poin yang saya dapatkan mengenai
pengertian filsafat adalah ilmu tentang olah pikir dan refleksi (perenungan)
dari hal-hal yang terjadi. Seperti yang kita ketahui, bahwa manusia dari kecil
hingga dewasa bahkan hingga sepersekian detik sebelum meninggal pasti selalu
berpikir, kecuali jika manusia itu tertidur pulas. Manusia selalu saling
membutuhkan satu sama lain, dan saling berinteraksi satu sama lain. Semakin
sering kita berpikir dan melakukan refleksi terhadap hal yang terjadi pada kita
maka kita akan mengetahui hakikat tujuan hidup kita dan kita akan dapat sampai
pada satu tingkatan tertinggi dari hakikat filsafat itu sendiri, yaitu
kedewasaan, kebijaksaan atau kearifan.
Manusia berfilsafat membutuhkan dua
macam, yaitu berpikir logika dan pengalaman hidup. Seperti yang telah
diungkapkan oleh bapak Marsigit bahwa metode untuk mempelajari filsafat adalah
kehidupan, dan karakter kehidupan adalah juga karakter filsafat. Orang yang
berfilsafat tidak harus hal-hal yang ‘waow’, akan tetapi dari hal yang sepele
juga. Misalnya tentang berapakah usia semut? Atau pernahkah mengamati
burung-burung saling berkomunikasi? Dan pertanyaan lainnya.
Oleh karena filsafat adalah ilmu tentang
refleksi (perenungan), maka pada mata kuliah filsafat ini, kami mahasiswa
dituntut untuk merefleksi hasil perkuliahan. Pada saat perkuliahan tidak
disarankan untuk mencatat karena itu merupakan salah satu penerapan filsafat
(berpikir) yakni zaman modern seperti sekarang ini banyak teknologi seperti handphone yang canggih yang bisa merekam
sehingga kita tidak perlu bersusah payah lagi dengan mencatat. Akan tetapi kita
juga harus tatap berkaya dengan merefleksikan perkuliahan melalui tulisan dan
karya tersebut pasti bermanfaat bagi mahasiswa itu sendiri dan juga orang yang
membacanya.
Selain itu, Bapak Marsigit mengungkapkan
bahwa sebenar-benar berfilsafat adalah bertanya atau mengutarakan pertanyaan.
Oleh karenanya, anjuran dari Bapak Masigit,
agar saya lebih memahami hakekat filsafat adalah dengan membaca artikel – artikel
Elegi beliau dan menuliskan komentar ataupun pertanyaan. Dalam
kehidupan ini, semua orang pasti menginginkan kejelasan dan pemahaman. Oleh
karenanya, manusia mengajukan pertanyaan tentang hal-hal yang yang belum
diketahui dan ingin diketahui kejelasannya.
Saya pribadi lebih baik mengetahui
dengan jelas apa yang sebenarnya terjadi walaupun kenyataan tersebut
menyakitkan daripada tidak mengetahui kenyataan, entah dengan berbagai alasan. Saya
juga tidak menyukai hal-hal yang bersifat tidak jelas atau menggantung. Dari
sini saya kembali kepada apa yang diungkapkan Bapak Marsigit, yakni letakkanlah
spiritual di atas segalanya. Bahwa kebenaran sejati memang hanya datang dari
Tuhan.
Membangun filsafat dengan metode hidup
dapat dilakukan melalui berdoa, melihat, mendengar, dan sebagainya. Jadi, menurut
saya, pemahaman berfilsafat memang ditekankan pada orang-orang yang sudah banyak
pengalaman, akan tetapi tidak hanya itu, orang yang telah cukup dewasa dan
dapat mengambil hikmah dari apa yang terjadi dan berusaha untuk menjadi lebih
baik lagi juga disebut berfilsafat.
Jika kita tidak mampu memikirkan tentang
hakikat Tuhan bukan berarti Tuhan itu tidak ada. Disinilah peranan hati
disamping juga otak yang berpikir. Kita dapat mengibaratkan hal tersebut dengan
oksigen. Kita percaya bahwa kita bernafas menggunakan oksigen. Kita dapat
merasakan bagaimana bernafas yakni menghirup oksigen, akan tetapi apakah kita
dapat melihat zat oksigen tersebut? Dan bagaimanakah akibatnya jika tidak ada
oksigen? Seperti itulah, bahwa ada hal yang tidak dapat ditangkap panca indera
kita akan tetapi dapat dirasakan akibatnya jika zat tersebut tidak ada. Jika
ada yang diciptakan pasti ada juga yang menciptakan, bukan? Bagi saya pemikiran
ini rasional. Akan tetapi saya juga terheran-heran dengan hal yang diungkap
Bapak Marsigit tentang sikap Prof. Don yang tidak mempercayai Tuhan.
Begitu pula dengan cinta. Cinta itu
seperti apakah? Jika saya menanyakan tentang cinta kepada seratus orang pasti
aka nada jawaban yang berbeda dari keseratus orang tersebut. Apakah kita pernah
melihat cinta? Tentu tidak, akan tetapi kita pasti pernah merasakannya. Dan
terkadang walau otak (pikiran) manusia memaksa untuk tidak mencintai seseorang
karena orang tersebut mungkin telah menyakiti, ini sungguh rasional. Akan
tetapi terkadang hati manusia mempunyai jalan
pemikiran yang berbeda dan kadang kurang rasioanl dengan tetap mencintai
orang yang telah menyakitinya.
Pertanyaan
untuk Bapak Marsigit:
1. Bagaimana
cara membangun kebiasaan yang baik agar kita menjadi manusia yang lebih arif
dan lebih dewasa?
2. Bagaimana
mengatasi problem ketika hati tidak bisa sejalan dengan pemikiran rasional?