Kamis, 04 Oktober 2012

Filsafat Membangun Kebiasaan Baik dan Memutuskan


Sebelumnya terimakasih karena Bapak Marsigit sudah menjawab sedikit pertanyaan saya pada pertemuan Minggu lalu mengenai cara membangun kebiasaan yang baik dan bagaimana kita harus bersikap jika kita berada dalam kebimbangan dan kekhawatiran.
Yang pertama yakni mengenai cara membangun kebiasaan yang baik. Terkadang kita mengetahui bahwa kebiasaan yang kita lakukan belum baik tetapi juga bukan hal yang mudah untuk menggantinya dengan kebiasaan yang lebih baik. Bahkan kita merasa nyaman dalam keadaan ‘kebiasaan’ yang kurang baik itu.
Dari apa yang saya tangkap, membangun kebiasaan yang baik memang harus dimulai dengan ‘paksaan’ pada diri sendiri. Dan ketika paksaan itu terjadi secara terus menerus sepanjang waktu setiap hari maka dengan sendirinya paksaan yang merupakan latihan untuk kebiasaan baik itu akan benar-benar menjadi kebiasaan baik. Pikiran dan hati juga tidak lagi terbebani dengan ‘paksaan’ tersebut karena sudah menjadi sesuatu yang biasa.
Saya telah membaca elegi Bapak yang berkaitan dengan pertanyaan saya mengenai kebimbangan dan kekhawatiran, yaitu Elegi Menggapai Hati. Memang benar sesungguhnya hakikat bimbang dan khawatir itu adalah batas antara pikiran dan hati. Kita perlu menyeimbangkan penggunaan pikiran dan hati. Jika manusia berada dalam keadaan pikiran yang jernih dan hati yang bersih maka disitu tidak akan ada rasa khawatir.
Pikiran dan hati tidak dapat dipisahkan. Ini karena manusia adalah makhluk Tuhan yang paling sempurna. Manusia memang tidak pernah lepas dari dosa. Dan dosa itulah salah satu yang membuat hidup dirudung rasa khawatir. Untuk bisa mendapatkan pikiran yang jernih dan hati yang bersih, manusia perlu berdoa dan berserah diri kepada Tuhan. Berdoa adalah pekerjaan hati, hati bisa melantunkan doa dengan khusyu dan tawadhu.
Bimbang juga merupakan keadaan dimana kita tidak dapat memutuskan suatu hal itu bernilai baik atau buruk, benar atau salah sehingga kita tidak dapat memutuskan. Untuk mendapatkan keputusan yang tepat agar tidak terjadi kekhawatiran terdapat dua macam cara dalam berpikir, yakni menggunakan pikiran sebaik mungkin atau tidak menggunakan pikiran sama sekali.
Ketika pemikiran kita salah, sebenarnya hati kita melakukan pemberontakan. Hati adalah tolak ukur yang benar dan yang salah. Akan tetapi hal tersebut memang sudah menjadi hal alami yang dihadapi manusia selama manusia tersebut masih menghembuskan nafas di dunia ini. Semoga Tuhan senantiasa memberi kedamaian dan ketenteraman dalam hidup kita, amiin.

Pertanyaan untuk Bapak Marsigit:
Bagaimana cara kita bersikap agar seiring usia kita semakin bertambah, bertambah pula kedewasaan kita?

Pernahkah Kita Berfilsafat?


Filsafat merupakan kata yang sudah sering saya dengar tetapi selama ini yang saya ketahui tentang filsafat adalah suatu ilmu yang tingkat pemikirannya tinggi dan membutuhkan kedewasaan untuk dapat memahaminya. Kenapa saya berpikiran demikian? Karena saya juga melihat di buku kurikulum pendidikan 2009 bahwa mata kuliah ini diajarkan di tahun keempat perkuliahan. Saya juga belum pernah membaca buku yang khusus menjabarkan filsafat ataupun diajarkan tentang filsafat sebelum perkuliahan dengan Bapak Marsigit pada pertemuan Minggu lalu.
Dari apa yang telah di sampaikan oleh Bapak Marsigit pada perkuliahan Minggu lalu, mungkin ada hal yang disampaikan Bapak Marsigit yang sejalan dengan pemikiran saya yang pertama mengenai filsafat, bahwa orang yang berfilsafat itu orang yang sudah banyak pengalaman. Dari sini saya semakin tertarik untuk mempelajari filsafat.
Poin yang saya dapatkan mengenai pengertian filsafat adalah ilmu tentang olah pikir dan refleksi (perenungan) dari hal-hal yang terjadi. Seperti yang kita ketahui, bahwa manusia dari kecil hingga dewasa bahkan hingga sepersekian detik sebelum meninggal pasti selalu berpikir, kecuali jika manusia itu tertidur pulas. Manusia selalu saling membutuhkan satu sama lain, dan saling berinteraksi satu sama lain. Semakin sering kita berpikir dan melakukan refleksi terhadap hal yang terjadi pada kita maka kita akan mengetahui hakikat tujuan hidup kita dan kita akan dapat sampai pada satu tingkatan tertinggi dari hakikat filsafat itu sendiri, yaitu kedewasaan, kebijaksaan atau kearifan.
Manusia berfilsafat membutuhkan dua macam, yaitu berpikir logika dan pengalaman hidup. Seperti yang telah diungkapkan oleh bapak Marsigit bahwa metode untuk mempelajari filsafat adalah kehidupan, dan karakter kehidupan adalah juga karakter filsafat. Orang yang berfilsafat tidak harus hal-hal yang ‘waow’, akan tetapi dari hal yang sepele juga. Misalnya tentang berapakah usia semut? Atau pernahkah mengamati burung-burung saling berkomunikasi? Dan pertanyaan lainnya.
Oleh karena filsafat adalah ilmu tentang refleksi (perenungan), maka pada mata kuliah filsafat ini, kami mahasiswa dituntut untuk merefleksi hasil perkuliahan. Pada saat perkuliahan tidak disarankan untuk mencatat karena itu merupakan salah satu penerapan filsafat (berpikir) yakni zaman modern seperti sekarang ini banyak teknologi seperti handphone yang canggih yang bisa merekam sehingga kita tidak perlu bersusah payah lagi dengan mencatat. Akan tetapi kita juga harus tatap berkaya dengan merefleksikan perkuliahan melalui tulisan dan karya tersebut pasti bermanfaat bagi mahasiswa itu sendiri dan juga orang yang membacanya.
Selain itu, Bapak Marsigit mengungkapkan bahwa sebenar-benar berfilsafat adalah bertanya atau mengutarakan pertanyaan. Oleh karenanya, anjuran dari Bapak Masigit, agar saya lebih memahami hakekat filsafat adalah dengan membaca artikel – artikel Elegi beliau dan menuliskan komentar ataupun pertanyaan. Dalam kehidupan ini, semua orang pasti menginginkan kejelasan dan pemahaman. Oleh karenanya, manusia mengajukan pertanyaan tentang hal-hal yang yang belum diketahui dan ingin diketahui kejelasannya.
Saya pribadi lebih baik mengetahui dengan jelas apa yang sebenarnya terjadi walaupun kenyataan tersebut menyakitkan daripada tidak mengetahui kenyataan, entah dengan berbagai alasan. Saya juga tidak menyukai hal-hal yang bersifat tidak jelas atau menggantung. Dari sini saya kembali kepada apa yang diungkapkan Bapak Marsigit, yakni letakkanlah spiritual di atas segalanya. Bahwa kebenaran sejati memang hanya datang dari Tuhan.
Membangun filsafat dengan metode hidup dapat dilakukan melalui berdoa, melihat, mendengar, dan sebagainya. Jadi, menurut saya, pemahaman berfilsafat memang ditekankan pada orang-orang yang sudah banyak pengalaman, akan tetapi tidak hanya itu, orang yang telah cukup dewasa dan dapat mengambil hikmah dari apa yang terjadi dan berusaha untuk menjadi lebih baik lagi juga disebut berfilsafat.
Jika kita tidak mampu memikirkan tentang hakikat Tuhan bukan berarti Tuhan itu tidak ada. Disinilah peranan hati disamping juga otak yang berpikir. Kita dapat mengibaratkan hal tersebut dengan oksigen. Kita percaya bahwa kita bernafas menggunakan oksigen. Kita dapat merasakan bagaimana bernafas yakni menghirup oksigen, akan tetapi apakah kita dapat melihat zat oksigen tersebut? Dan bagaimanakah akibatnya jika tidak ada oksigen? Seperti itulah, bahwa ada hal yang tidak dapat ditangkap panca indera kita akan tetapi dapat dirasakan akibatnya jika zat tersebut tidak ada. Jika ada yang diciptakan pasti ada juga yang menciptakan, bukan? Bagi saya pemikiran ini rasional. Akan tetapi saya juga terheran-heran dengan hal yang diungkap Bapak Marsigit tentang sikap Prof. Don yang tidak mempercayai Tuhan.
Begitu pula dengan cinta. Cinta itu seperti apakah? Jika saya menanyakan tentang cinta kepada seratus orang pasti aka nada jawaban yang berbeda dari keseratus orang tersebut. Apakah kita pernah melihat cinta? Tentu tidak, akan tetapi kita pasti pernah merasakannya. Dan terkadang walau otak (pikiran) manusia memaksa untuk tidak mencintai seseorang karena orang tersebut mungkin telah menyakiti, ini sungguh rasional. Akan tetapi terkadang hati manusia mempunyai jalan pemikiran yang berbeda dan kadang kurang rasioanl dengan tetap mencintai orang yang telah menyakitinya.

Pertanyaan untuk Bapak Marsigit:
1.      Bagaimana cara membangun kebiasaan yang baik agar kita menjadi manusia yang lebih arif dan lebih dewasa?
2.      Bagaimana mengatasi problem ketika hati tidak bisa sejalan dengan pemikiran rasional?